Jakarta, CNN Indonesia —
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menegaskan Trend Populer hujan deras di musim kemarau yang terjadi belakangan ini “bukanlah anomali iklim.”
Menurut Ia, kondisi tersebut Merupakan sesuatu yang normal dan wajar terjadi di Indonesia lantaran letak geografis Indonesia yang berada di antara dua benua, yaitu Australia dan Asia; dan dua samudra, yaitu Pasifik dan Hindia.
“Letak geografis ini menjadikan Indonesia memiliki dua musim yang berbeda, yaitu musim hujan dan musim kemarau,” ujar Dwikorita dalam konferensi pers secara daring di Jakarta, Senin (8/7), dikutip dari siaran pers BMKG.
“Angin monsun barat dari Benua Asia membuat Indonesia mengalami musim hujan. Sementara secara umum, musim kemarau di Indonesia berkaitan dengan aktifnya angin monsun timur dari Australia yang bersifat kering,” lanjutnya.
Meski Indonesia berstatus musim kemarau, Dwikorita mengatakan hujan tak berarti tidak turun sama sekali.
Ia menjelaskan kemarau berarti curah hujan di suatu tempat kurang dari 50 milimeter per dasarian (periode 10 hari) dan terjadi minimal tiga dasarian berturut-turut.
Musim kemarau sendiri tidak terjadi secara Pada saat yang sama di Indonesia dan berlangsung dengan durasi yang berbeda antar-wilayah.
Merujuk pada data BMKG Sampai sekarang akhir Juni 2024, 43 persen Zona Musim (ZoM) di Indonesia Dalam proses mengalami musim kemarau. Puncak musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia Akan segera terjadi pada Juli dan Agustus 2024, yang mencakup 77,27 persen wilayah ZoM.
Dwikorita menegaskan musim kemarau tidak Setiap Waktu menunjukkan kondisi iklim yang kering dan panas. Pasalnya, Indonesia punya keragaman iklim yang tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi musim.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia di antaranya ialah faktor global seperti Trend Populer El Nino/La Nina, faktor regional misalnya Madden-Julian Oscillation (MJO) dan menghangatnya suhu permukaan laut di sekitar Indonesia.
Apalagi, ada faktor lokal seperti angin darat-angin laut.
“Sebuah kejadian cuaca, umumnya merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor tersebut,” lanjut Dwikorita, yang merupakan mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Selain dipengaruhi iklim dan dinamika atmosfer, Dwikorita mengatakan tipe hujan di Indonesia Bahkan dipengaruhi oleh kondisi topografi.
Kondisi topografi wilayah Indonesia yang merupakan daerah pegunungan, berlembah, banyak pantai, merupakan faktor lokal yang dapat menambah beragamnya kondisi iklim di wilayah Indonesia.
“Keragaman iklim inilah yang menyebabkan wilayah Indonesia terbagi menjadi banyak zona musim, yaitu monsunal, ekuatorial, dan lokal di mana masing-masing tipe zona memiliki periode waktu terjadinya musim hujan dan musim kemarau yang berbeda,” urai Ia.
Kasus terkini
Soal Trend Populer hujan lebat dalam beberapa hari terakhir di beberapa wilayah termasuk Banten, Jabar, Jakarta, dan Maluku, Dwikorita mengungkap hal itu disebabkan oleh dinamika atmosfer skala regional yang cukup signifikan.
Di antaranya, aktivitas Trend Populer MJO, Gelombang Rossby Ekuatorial, dan Gelombang Kelvin.
Pertama, MJO. Ini merupakan aktivitas dinamika atmosfer yang terjadi di wilayah tropis, berupa pergerakan sistem awan hujan yang bergerak di sepanjang khatulistiwa, dari Samudra Hindia sebelah timur Afrika ke Samudra Pasifik dan melewati wilayah Benua Maritim Indonesia.
Kepala BMKG menyebut Trend Populer ini sifatnya temporal dan Akan segera terulang setiap 30 Sampai sekarang 60 hari di sepanjang wilayah khatulistiwa.
MJO memiliki perbedaan dalam skala ruang dan waktu dengan musim kemarau.
Bila musim kemarau terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia dan berlangsung selama berbulan-bulan, ia menyebut MJO hanya terjadi di wilayah yang dilewatinya dan hanya berlangsung dalam hitungan beberapa hari Sampai sekarang beberapa minggu.
Trend Populer MJO ini bisa mempengaruhi pola cuaca dengan Mengoptimalkan kemungkinan adanya periode hujan yang lebih intens, sekalipun itu di musim kemarau.
“Dalam beberapa hari terakhir, terjadi Trend Populer cuaca MJO yang aktif di sekitar wilayah Samudra Hindia dan mempengaruhi pembentukan awan hujan terutama di wilayah Indonesia bagian barat.”
“Pada periode tanggal 3 – 6 Juli 2024, gelombang atmosfer MJO, Rossby Equatorial, dan Kelvin aktif di Indonesia bagian tengah dan selatan,” lanjut Ia.
Trend Populer MJO ini Sebelumnya terdeteksi sejak 28 Juni. Sejak itu, BMKG mengeluarkan peringatan dini potensi hujan lebat.
“Nah, daerah-daerah seperti Sumatra bagian selatan, Jawa (termasuk Jabodetabek), Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua bagian selatan mengalami kondisi atmosfer yang Mendukung pembentukan awan hujan, sehingga curah hujan meningkat di wilayah-wilayah tersebut,” tambah Ia.
Senada, Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto mengatakan kombinasi pengaruh Trend Populer cuaca tersebut diperkirakan masih menimbulkan potensi hujan dengan intensitas Dalam proses Sampai sekarang lebat yang disertai kilat/petir dan angin kencang di sebagian wilayah Indonesia.
Pada 8 Sampai sekarang 10 Juli, hujan diperkirakan terjadi di sebagian besar wilayah Sumatra, Jawa bagian barat, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Malut, dan Papua.
Pada periode 11 Sampai sekarang 14 Juli, potensi hujan Dalam proses-lebat diperkirakan terjadi di wilayah Sumatra bagian utara, sebagian besar Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Malut, dan Papua.
“Meski beberapa wilayah di Indonesia Sebelumnya memasuki musim kemarau, kami mengimbau masyarakat untuk Setiap Waktu waspada dan melakukan antisipasi dini terhadap potensi cuaca ekstrem yang masih bisa terjadi di beberapa wilayah.”
“Cuaca ekstrem tersebut meliputi hujan lebat dalam durasi singkat yang dapat disertai kilat/petir dan angin kencang, angin puting beliung, serta Trend Populer hujan es,” pungkas Guswanto.
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA