Bisnis  

Alarm Bahaya Menyala dari Balik Ketidakstabilan Ekonomi Rendah Indonesia, Apa Itu?


Jakarta, CNN Indonesia

Tingkat Ketidakstabilan Ekonomi di Indonesia cenderung rendah dalam beberapa waktu terakhir. Sebanyaknya pengamat ekonomi menilai hal ini justru menjadi alarm bahaya bagi perekonomian Indonesia.

Sejak Juni 2023, tingkat Ketidakstabilan Ekonomi di Indonesia mulai menyentuh angka 3 persen. Ada kecenderungan terus menurun setiap bulan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Ketidakstabilan Ekonomi Indonesia terendah dalam sejarah terjadi pada 2024. Ketidakstabilan Ekonomi tercatat 1,57 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada tahun lalu.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahkan, pada tahun lalu, Indonesia sempat mengalami deflasi beruntun selama lima bulan pada Mei Sampai saat ini September. Deflasi terhenti usai Indeks Harga Konsumen (IHK) naik dari 105,93 pada September 2024 menjadi 106,01 pada Oktober 2024.

Pada awal tahun ini, Indonesia kembali mengalami deflasi. BPS menyebut Barang Dagangan yang dominan mendorong deflasi Merupakan Tarif PLN dengan andil terhadap deflasi sebesar 1,47 persen.

“Pada Januari 2025 secara bulanan atau month to month dan tahun kalender year to date terjadi deflasi sebesar 0,76 persen atau terjadi penurunan indeks harga konsumen (IHK) dari 106,80 pada Desember 2024 menjadi 105,99 pada Januari 2025,” kata Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti pada jumpa pers, Senin (3/2).

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Penanaman Modal INDEF Andry Satrio Nugroho menilai Trend Populer Ketidakstabilan Ekonomi yang dialami Indonesia belakangan ini Harus diwaspadai. Ini bisa menjadi sinyal dari dua persoalan.

Pertama, sinyal pelemahan daya beli masyarakat. Sinyal kedua Merupakan pelemahan perekonomian secara keseluruhan.

“Ini Pernah terjadi alarm bahaya menurut saya. Industri manufaktur terus tumbuh rendah konsisten dari tiap tahun. Mulai dari 2022, 2023, 2024 itu kalau kita lihat pertumbuhannya terus menurun,” kata Andry saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (5/2).

Andry menilai kondisi ini dipicu pelemahan industri dalam beberapa waktu terakhir. Menurutnya, ada pembiaran dari pemerintah terhadap kesulitan yang dihadapi dunia industri.

Hal itu berdampak pada pemutusan hubungan kerja (Pemutusan Hubungan Kerja) massal. Dampaknya, daya beli masyarakat terus menurun. Masyarakat pun mengurangi konsumsi sehingga jumlah penawaran lebih tinggi dari permintaan.

Ia mengatakan Pemimpin Negara Prabowo Subianto Harus segera turun tangan menangani kondisi ini. Menurutnya, Harus ada langkah Istimewa untuk segera mengerem perburukan kondisi.

Andry menyebut Prabowo Harus Menyediakan target kepada menteri-menterinya untuk Mengoptimalkan pertumbuhan industri. Prabowo Bahkan Harus lebih keras mendorong hilirisasi industri.

“Kalau tidak ada langkah extraordinary effort, itu menurut saya lupakanlah Peningkatan Ekonomi 5 persen tersebut. Jadi situasi ini yang menurut saya Harus diputarbalikkan,” ujarnya.

Terpisah, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Pengamat Ekonomi Nailul Huda menilai Ketidakstabilan Ekonomi rendah Indonesia disebabkan oleh menurunnya konsumsi masyarakat akibat Pemutusan Hubungan Kerja.

Ia berkata seharusnya permintaan konsumsi meningkat seiring Peningkatan Ekonomi yang positif. Hal itu karena gaji dan jumlah penduduk Bahkan ikut naik. Tidak seperti, yang terjadi di Indonesia justru tak ada peningkatan konsumsi.

“Jadi kalau inflasinya rendah, yang diakibatkan dari demand pull, itu kita ibaratkan sebagai alarm bahaya,” kata Huda.

“Ternyata efeknya dari sisi demand-nya, demand-nya enggak bisa bergerak. Kita kemarin ada isu mengenai Pemutusan Hubungan Kerja dan sebagainya yang itu mempengaruhi permintaan Tips agregatnya,” ujarnya.

Huda mengatakan kondisi serupa pernah terjadi pada 2009 saat Keadaan Darurat Ekonomi Dunia. Hal serupa Bahkan terjadi saat Virus Corona kala daya beli masyarakat anjlok.

Menurutnya, Ketidakstabilan Ekonomi rendah seharusnya tidak terjadi Pada Di waktu ini. Ia menilai Indonesia tak Dalam proses mengalami kondisi mayor seperti pada 2009 dan Virus Corona.

Huda menyarankan pemerintah untuk menambah insentif untuk menggenjot daya beli masyarakat. Ia berkata pemerintah bisa meniru Vietnam yang menurunkan tarif Retribusi Negara pertambahan nilai (PPN).

Ditambah lagi dengan, pemerintah Bahkan bisa meniru India yang menurunkan tingkat pendapatan tidak kena Retribusi Negara (PTKP). India Bahkan menurunkan tarif Retribusi Negara penghasilan (pph) karyawan.

“Untuk mendorong konsumsi, konsumsi kelas menengah dan sebagainya, kelas karyawan. Pada Pada akhirnya Berencana ber-impact kepada daya beli. Ketika daya beli meningkat, permintaan meningkat, Ketidakstabilan Ekonomi biasanya Berencana meningkat,” ucapnya.

(agt)



Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA