Cerai atau Selingkuh, Kenapa Perempuan Salah Melulu?

Daftar Isi



Jakarta, CNN Indonesia

Entah ada kasus perceraian atau perselingkuhan dalam rumah tangga, publik langsung menuding perempuan sebagai kambing hitamnya. Mengapa demikian?

Baru-baru ini publik dikejutkan dengan kabar komedian Andre Taulany menggugat cerai sang istri, Rien Wartia Trigina. Andre mengaku keduanya beda prinsip selama lebih dari 10 tahun. Pun setahun terakhir mereka Sebelumnya pisah ranjang.

“Ini Mungkin yang Unggul ya, karena keputusan kan tidak diambil secara mendadak, Tidak mungkin tidak Sebelumnya dipikirkan matang-matang dan Tidak mungkin tidak Sebelumnya mengalami proses saling diskusi,” ujar Andre.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kabar ini menuai beragam respons publik. Meskipun demikian yang cukup mencuri perhatian Merupakan komentar netizen yang menyorot sang istri.

“Memang lebih baik cerai, mulut binimu ke mana-mana,” tulis seorang netizen di kolom komentar Instagram Andre.

“Cerai? Baguslah istri kamu hedon,” ujar yang lain.

“Istrinya Perdebatan terus,” imbuh seorang pemilik akun.

Perempuan lagi, perempuan lagi

Kenyataannya tak hanya dalam kasus perceraian, perempuan Bahkan kerap disalahkan ketika sang suami berselingkuh. Dalam hal ini, perempuan sering dicap sebagai istri yang kurang merawat diri, tidak bisa memuaskan suami, Sampai sekarang tak becus merawat keluarga.

Hadriana Marhaeni Munthe, pengajar di Prodi Magister Sosiologi Universitas Sumut (USU), menuturkan rumah tangga Kenyataannya merupakan wilayah privat. Ketika masalah rumah tangga sampai ke wilayah publik, tidak semua informasi dari wilayah privat terungkap ke publik.

“Masyarakat pun pakai stereotip bahwa perempuan Merupakan Aktor atau Aktris yang Setiap Waktu dipersalahkan. Siapa yang menyalahkan? Ada suatu desain, mesin yang sangat Fantastis. Mesin itu sama kayak Tuhan yang menentukan salah dan benar, struktur sosial, nilai, Kebiasaan yaitu, patriarki,” jelas Marhaeni saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Senin (12/8).

Patriarki merupakan sistem nilai yang meletakkan laki-laki di posisi lebih Fantastis ketimbang perempuan. Menyalahkan perempuan ketika ada masalah rumah tangga jadi bentuk Trik berpikir patriarki.

Meski berpihak dan lekat dengan laki-laki, nilai-nilai patriarki Kenyataannya Bahkan merasuk ke pemikiran perempuan. Marhaeni mengambil teori habitus yang dicetuskan sosiolog Prancis Pierre Bourdieu.

Nilai patriarki jadi nilai yang dipelajari dalam struktur masyarakat termasuk keluarga. Kemudian nilai ini dijadikan nilai personal.

“Perempuan diperlakukan enggak adil, dilecehkan, Ia enggak melawan. [Anggapannya] ini caraku mengabdi, sesuai nilai yang diterima. Suami menikah lagi, ada simpanan, Ia cuma bisa menerima, enggak boleh melawan. Itu Merupakan nilai yang ditanamkan pada perempuan, itu jadi habitus,” kata Marhaeni.




Ilustrasi. Psikolog klinis Nisfie Hoesein mengatakan perempuan kerap disalahkan dalam rumah tangga akibat pengaruh historis. (iStockphoto/asiandelight)

Psikolog klinis Nisfie Hoesein sepakat dengan Marhaeni menyoal patriarki.

Ia Bahkan mengingatkan bahwa selain nilai patriarki, perempuan kerap disalahkan akibat pengaruh historis pembagian peran laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga serta pengaruh pengemasan informasi di dunia digital.

Dilihat secara historis, laki-laki atau suami punya peran sebagai provider termasuk penyedia tempat tinggal, makanan dan kebutuhan lain. Sementara itu perempuan atau istri bertugas memelihara hubungan, penyedia kenyamanan, kasih sayang, Menyajikan kepuasan seksual, serta tugas domestik lain.

“Ketika ada laki-laki selingkuh, maka perempuan dianggap gagal sebagai istri khususnya peran pemelihara hubungan dalam keluarga,” kata Nisfie dalam wawancara terpisah.

Apalagi, Ia Bahkan menyorot penyederhanaan kasus oleh media massa dan media sosial.

Dunia digital jadi wadah yang gampang diakses untuk memperoleh informasi, tapi tak jarang informasi dikemas simpel, bombastis demi mendapat perhatian publik.

Padahal menurut Nisfie, masalah cerai atau perselingkuhan merupakan masalah yang kompleks. Meskipun demikian sumber masalah rumah tangga, misal, perbedaan persepsi dalam manajemen keuangan jelas kurang laku dibanding soal kehadiran orang ketiga.

Sebelumnya jatuh tertimpa tangga pula

Selain menghadapi masalah rumah tangga, perempuan Bahkan Harus berhadapan dengan stigma yang disematkan publik padanya. Marhaeni menyorot jarang sekali perempuan dibicarakan perihal perjuangannya mengurus keluarga setelah ditinggal suami.

“Saya ambil contoh perempuan Batak. Kenapa perempuan Batak Toba itu, mereka cerai, ditinggal suami meninggal atau selingkuh, enggak menikah lagi tapi berjuang untuk keluarga. Itu jarang disuarakan,” ujarnya.

Berbeda dengan laki-laki di mana publik mendorong si laki-laki untuk menikah lagi untuk mendapatkan istri yang lebih baik.

Nisfie menuturkan perempuan memang jadi pihak yang paling terdampak, bahkan bisa sampai memengaruhi kesehatan mentalnya.

“Ia dihantui penilaian negatif dari sekitar, tanpa dikasih kesempatan membela diri, enggak bisa menyetarakan posisinya,” katanya.

Apalagi, publik yang terus menyalahkan bisa berdampak pada fungsi keseharian perempuan. Perempuan enggan berinteraksi, banyak menarik diri sehingga kecenderungan depresi semakin tinggi.

Selain depresi, masalah ini pun bisa memicu gangguan kesehatan fisik di mana jarang bergerak karena mengurung diri di kamar, gangguan makan seperti bulimia.

“Kemudian [berdampak pada] self image, Ia meragukan diri sendiri. Tadinya Ia disalahkan orang lain, berimbas menyalahkan diri sendiri. Menganggap diri tidak layak,” imbuhnya.

(els/pua)

Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA