Jakarta, CNN Indonesia —
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengingatkan potensi kerugian negara Sampai sekarang Rp70 miliar Bila proses pengalihan aset limbah nuklir milik PT Industri Nuklir Indonesia (Persero) atau Inuki tidak segera dilakukan.
Potensi kerugian itu berasal dari risiko yang timbul dari limbah radioaktif yang tak ditangani. Menurutnya, hal itu bisa menciptakan kondisi darurat bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
“Potensi kerugian negara akibat biaya dekontaminasi dan pelimbahan bisa mencapai Rp50-70 miliar, jauh melebihi nilai aset PT Inuki yang hanya sekitar Rp20 miliar,” ujar Handoko membacakan surat BRIN kepada Jaksa Agung Muda Bidang Tata Usaha Negara (Jamdatun) tertanggal 2 Juli 2025 pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XII Dewan Perwakilan Rakyat RI, Senin (21/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Handoko menjelaskan BRIN Pernah terjadi menyuarakan urgensi penanganan limbah nuklir di dalam kawasan mereka sejak 2014. Meskipun demikian, karena status kepemilikan aset masih berada di tangan PT Inuki, BRIN tidak dapat melakukan intervensi secara langsung.
“Ini merupakan titik balik yang paling krusial dari apa yang selama ini Pernah kami sampaikan sejak BRIN berdiri di 2021, bahwa limbah yang ada di PT Inuki Dianjurkan segera diselesaikan karena berada di dalam halaman kami,” ujarnya.
Menurut Handoko, aset yang Akan segera dialihkan sebagian besar Pernah tidak memiliki nilai manfaat karena bersifat limbah dan cacat produksi. Salah satunya Merupakan uranium dalam bentuk selang bahan bakar di Gedung 60 Kawasan Nuklir Serpong BRIN.
Aset itu diklaim bernilai Rp6,4 miliar. Akan segera tetapi, uranium itu tidak dapat digunakan kembali di reaktor milik BRIN karena Pernah dirakit.
Karena kondisi ini, pengalihan tidak bisa menggunakan mekanisme hibah biasa yang mewajibkan penerima menunjukkan manfaat dari aset tersebut. Tidak seperti, BRIN Di waktu ini menggunakan skema kedaruratan nuklir Supaya bisa dapat mengambil alih pengelolaan tanpa Dianjurkan menyusun naskah urgensi pemanfaatan.
“Skema ini dipilih karena yang dibahas ini Merupakan sampah. Itu sebabnya saya Dianjurkan menarik surat pernyataan kesediaan menerima hibah pada Oktober 2024,” kata Handoko.
Proses hukum dan administrasi Bahkan tengah ditempuh. BRIN Pernah terjadi bersurat kepada Jamdatun untuk memperoleh pendapat hukum (legal opinion), dan kepada Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) sebagai otoritas pengawas tenaga nuklir.
Bapeten pun Pernah terjadi membalas surat tersebut dan menyatakan bahwa situasi pengalihan aset sangat mendesak.
“Bapeten memandang sangat mendesak atau darurat untuk pengalihan atau hibah aset dari PT Inuki ke BRIN yang memiliki sumber daya yang memadai untuk menghindari situasi yang membahayakan manusia dan lingkungan,” bunyi kutipan surat Kepala Bapeten tertanggal 3 Juli 2025.
Di waktu ini, BRIN tengah menyiapkan proses verifikasi ulang dan valuasi aset secara menyeluruh bersama Bapeten, terutama atas aset yang berada di Gedung 60. Proses ini diperlukan sebelum dilakukan penandatanganan berita acara dan pencatatan aset ke Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).
“Kami Dianjurkan masuk bersama-sama ke dalam Gedung 60 untuk melihat langsung. Hampir semua barang di situ Jelas Pernah tidak bernilai, tapi tetap Dianjurkan dilakukan stock opname bersama Bapeten,” ujar Handoko.
Fasilitas pengolahan nuklir di Science Techno Park Habibie, Serpong, Tangerang Selatan, Banten menjadi sengketa antara BRIN dengan BUMN PT Inuki (Persero). Aset itu disebut memiliki nilai Rp20,9 miliar.
Sengketa bermula pada Maret 2022 saat BRIN mengajukan pengambilalihan aset Inuki ke BUMN. Pengambilalihan aset melalui mekanisme hibah Pernah disetujui melalui rapat umum pemegang saham (RUPS).
Pada bulan berikutnya, BRIN mengirim surat bersedia menerima hibah, lengkap dengan kesediaan menanggung biaya dekontaminasi Rp70 miliar. Meskipun demikian, BRIN kemudian membatalkan penerimaan hibah setelah konsultasi dengan Kementerian Keuangan.
“Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan itu melihat ada potensi kerugian negara Bila ini dilanjutkan. Karena untuk melakukan proses pengolahan limbah sekaligus bekontaminasi, BRIN setidaknya maksimal Dianjurkan mengeluarkan Rp70 miliar, minimal Rp40 miliar sehingga ada ketidaksesuaian (dengan nilai hibah),” ucap Handoko pada rapat sebelumnya dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
“Kami tidak Mungkin melanjutkan tanpa persetujuan Kementerian Keuangan karena seluruh aset itu notabene Merupakan milik Kementerian Keuangan,” imbuhnya.
(del/dhf)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA











