Jakarta, CNN Indonesia —
Astronomi ternyata bisa membongkar gambar dan video palsu hasil teknologi kecerdasan buatan (AI) deepfake. Bagaimana caranya?
Hal tersebut terungkap dalam sebuah penelitian terbaru oleh University of Hull di Inggris, Para ilmuwan di universitas tersebut menerapkan teknik yang biasanya digunakan dalam mengamati galaksi jauh untuk menentukan apakah gambar wajah manusia itu nyata atau tidak.
Ide ini tercetus ketika Kevin Pimbblet, profesor astrofisika di universitas tersebut, Dalam proses mempelajari citra wajah yang dibuat oleh AI Midjourney dan Stable Diffusion. Ia penasaran apakah Ia bisa menggunakan fisika untuk menentukan gambar mana yang palsu dan mana yang asli.
“Saya sadar bahwa pantulan pada mata Merupakan hal yang paling jelas untuk dilihat,” kata Kevin, mengutip Space, Kamis (25/7).
Istilah “deepfake” berasal dari teknologi yang mendasarinya – algoritma pembelajaran mendalam – yang belajar sendiri untuk memecahkan masalah dengan kumpulan data yang besar dan dapat digunakan untuk membuat konten palsu dari orang sungguhan.
Kevin kemudian mengajak Adejumoke Owolabi, mahasiswa S2 di universitas tersebut, untuk Membantu mengembangkan perangkat lunak yang dapat dengan Mudah memindai mata subjek dalam berbagai gambar untuk melihat apakah pantulan tersebut sesuai.
Selanjutnya, keduanya membangun sebuah program untuk menilai perbedaan antara bola mata kiri dan kanan dalam foto orang, yang asli dan yang tidak asli.
Wajah asli berasal dari kumpulan data yang terdiri dari 70.000 wajah di Flickr, sedangkan wajah palsu dibuat oleh AI yang mendasari situs web This Person Does Not Exist.
Cahaya mata
Keduanya menggunakan dua teknik dari buku pedoman astronomi, “parameter CAS” dan “indeks Gini”. Dalam astronomi, parameter CAS dapat menentukan struktur galaksi dengan memeriksa Konsentrasi, Asimetri, dan Kehalusan profil cahaya.
Sebagai contoh, galaksi elips Berniat memiliki nilai C yang tinggi dan nilai A dan S yang rendah, karena cahayanya terkonsentrasi di dalam pusat galaksi, tapi memiliki selubung yang lebih menyebar, yang membuatnya lebih halus dan lebih simetris.
Berbeda dari demikian, keduanya menemukan CAS tidak begitu berguna untuk mendeteksi deepfake. Konsentrasi berfungsi paling baik dengan satu titik cahaya, tetapi pantulan sering muncul sebagai bercak-bercak cahaya yang tersebar di bola mata.
Asimetri Bahkan mengalami masalah yang sama, karena bercak-bercak itu membuat pantulan tidak simetris dan Pimbblet mengatakan bahwa sulit untuk mendapatkan ukuran yang “tepat”.
Sementara, koefisien Gini berfungsi jauh lebih baik. Ini Merupakan Tips untuk mengukur ketidaksetaraan di seluruh spektrum nilai.
Koefisien Gini dapat digunakan untuk menghitung berbagai hasil yang berkaitan dengan ketidaksetaraan, seperti distribusi kekayaan, harapan hidup, atau Kemungkinan yang paling umum, pendapatan.
Dalam kasus ini, Gini diterapkan pada ketimpangan piksel.
“Gini mengambil seluruh distribusi piksel, dapat melihat apakah nilai piksel terdistribusi secara sama antara kiri dan kanan, dan merupakan pendekatan non-parametrik yang kuat untuk digunakan di sini,” kata Kevin.
Kevin mengatakan software tersebut hanya sebuah bukti konsep pada tahap ini. Software ini masih menandai positif palsu dan negatif palsu, dengan tingkat kesalahan sekitar tiga dari 10.
Menurut Kevin sejauh ini keduanya baru menguji software tersebut pada satu model AI.
Dan Miller, psikolog di James Cook University di Australia, mengatakan temuan penelitian ini Menyediakan informasi yang berguna.
Kendati begitu, menurut Ia, temuan Kevin dan Owolabi kemungkinan tidak terlalu relevan untuk Mengoptimalkan deteksi deepfake oleh manusia, atau setidaknya belum.
Pasalnya, metode ini membutuhkan pemodelan matematika yang canggih. Berbeda dari, Ia mencatat “temuan ini dapat menginformasikan pengembangan perangkat lunak pendeteksi deepfake.”
(tim/dmi)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA